Yusuf Jabung

Yusuf Jabung






THE MEMORIES









Kisah lain ketika SMA

Dalam perjalanan hidupku ada sepenggal kisah yang menjadi kenangan. Walau telah jauh berlalu, namun seakan terjadi kemarin.  Kenangan itu begitu indah bagiku, karena itu adalah harmoni romantis yang seolah menyampaikan pesan tentang perjalanan hidupku dibabak sesudahnya. Lama sudah kupendam kenangan itu.
Ada rasa haru namun juga sedih bila kumengingatnya.

Pernah ingin kutitipkan pada angin yang bertiup agar dibawanya pergi dari hidupku, namun aku tak bisa.  Pernah juga hendak kuceriterakan pada burung-burung malam, agar didendangkan pada dedaunan, tetap jua ku tak mampu.  Akhirnya kuputuskan untuk mengukirkan untaian kata-katanya pada papan beranda ini.  Walau ku tak yakin kan ada sepasang mata yang sudi mengeja huruf-hurufnya.  Walau dia cuma akan jadi cacian bukan pujian.  Tapi setidaknya aku telah berusaha membaginya pada lain orang, agar berkurang sesaknya dalam dada.

Tahun 2000 akhir

Pagi itu mentari cerah menghias mega biru bergantung putihnya awan. Sang bayupun membelai menyejuk raga diiring mewangi harum bebunga taman.  Dihias kicau indah beburung gereja yang bernyanyi riang dengan lagu yang tak dimengerti para insan.

Perlahan kupijakkan kaki di bumi nan indah kala itu. Melintas di depan seorang dara remaja manis yang terduduk termenung dalam kesendiriannya. Dia melamun. Ah, tidak. Dia menangis. Bumi suci yang menadah tetes air matanya menjadi saksi, jika dia sedang terisak dalam tangisnya. Ibaku membawaku menghampirinya, menyapanya dalam tuturku,
'Adik... Apa gerangan yang membuat hatimu sedih ?'
Perlahan dia menatapku,
'Nggak apa-apa kok kak...' jawabnya dalam senyum kegetiran menyambut kehadiranku.
Bibirnya membuat rahasia, namun syahdu matanya tak bisa berdusta.
Aku terduduk disampingnya, mencoba turut menghanyutkan diri dalam irama dukanya.
Sejenak dia menatapku, 'Kak, boleh aku bertanya ?'
'Tentu saja boleh.'
'Apa benar surga itu dibawah telapak kaki ibu ?' tanyanya dengan nada seakan protes.
'Ya. Begitulah.' jawabku penuh keheranan.
'Tapi... Mengapa ibuku....'

Yach ! Itulah awal perjumpaanku dengan seorang adik kelasku. Sebuah perjumpaan yang menyisipkan kisah lain dalam hidupku dan hidupnya. 

Sebuah persahabatan romantis yang lebih dari sekedar sahabat. Karena aku dan dia seakan sama-sama menemukan oase ditengah-tengah padang kegersangan kasih sayang.

Hari-haripun berlalu. Persahabatan yang awalnya adalah untuk saling mengingatkan agar tetap tegar dalam menapaki jalan kehidupan hingga sampai pada babak berikutnya. Namun seiring waktu, benih-benih cintapun tumbuh subur, bersemi indah dan berbunga di hati kami.

------

Raport Cinta Terindah

Hari itu adalah hari yang paling berbahagia baginya, juga untukku. Setelah pembagian raport sekolah selesai, seperti biasa aku dan dia pulang bersama menyusuri jalan setapak.
Dia mengambil raportku sembari menyodorkan raportnya agar aku melihat. Sekilas ku lihat wajahnya tampak berbinar-binar bahagia.
'Kak, aku hari ini senang sekali. Kakak peringkat pertama di kelas tiga, dan aku peringkat pertama di kelasku.'
Dalam senyum kubertanya padanya,
'Memangnya kenapa?'
'Ya senang donk... Itu kan berarti kita sama-sama pasangan yang... He..he...'
Jawabnya seraya bercanda.
'He..he.. Kenapa ?'
'Pintar semua.. Berarti khan serasi...'
'Oo... Begitu...'
'Iya...' jawabnya tersipu malu-malu.

'O ya, kak. Kalau sudah tamat SMA nanti, aku ingin sekali melanjutkan sekolah ke kedokteran. Aku khan tinggi, pasti diterima. Nanti kalo kakak sakit, aku yang ngobatin. Menurut kakak bagaimana ?' tanyanya mengharap supportku.
'Bagus itu ... Kakak setuju...'
jawabku memberinya semangat.
'Terus, kalau kakak cita-citanya apa ?' tanyanya menyelidik.
'Entahlah... Aku nggak tahu...' jawabku ragu.
'Lho..., kok tidak tahu... Terus yang menyebabkan kakak rajin belajar selama ini apa...?' lanjutnya kembali dengan rasa penasaran.
'Aku hanya ingin menang dari teman-temanku. Aku akan merasa sangat puas dan bangga, jika saat pengumuman hasil belajar, yang terbaik adalah aku.' jelasku mendetail.
Dia terdiam. Mungkin dia merasa bingung terhadap jawabanku.


Yach, itulah aku dulu. Berjalan melakukan sesuatu karena ego. Egolah yang membawaku. Aku tak ingin kalah dan tunduk dengan orang-orang sekitarku.
Hanya saja, Tuhan menuntunku melihat diriku yang rendah,kotor,lemah dan hina. Hingga aku sadar betapa lemah dan tak berdayanya diriku. Tuhan juga menuntunku agar melihat alam, hingga aku sadar betapa luas,besar dan tingginya Alam semesta. Hingga akal sehatku pun yang selama ini menjadi andalanku turut mengatakan, "Yang menciptakanmu dan menciptakan alam semesta ini jauh lebih tinggi dan lebih agung. Yang Sangking Tinggi dan Agungnya, tiada siapapun yang dapat mengukurnya melainkan Dia Sendiri.
Ego ku tetap tak pernah tunduk pada siapapun, tetap seperti sedia kala, hanya sedikit berubah yaitu tunduk patuh pada-Nya yang membuatku bersujud meletakkan keningku sejajar dengan telapak kakiku.

-----

24 april 2001

Hari ke dua puluh empat di bulan itu, mentari pagi meniti tangganya yang ke sembilan tiga puluh. Sepoi sang penyejuk berhembus membelai rerumput hijau yang menghampar inda di atas bumi yang ku pijak. Sekilas nampak kerudung putih melambai menuju tempatku berada. Menghampiriku dengan senyuman indahnya seakan hendak menghapus kesalku setelah dua hari kemarin dia acuh tak acuh padaku.

Segera kulupakan khilafnya kemarin untuk menyambut kehadirannya dengan sebuah sapa,
"Apa khabar...?" kataku mencoba memperindah suasana.
"Alhamdulillah... baik kak...?" jawabnya seraya tetap dalam senyumnya. Di sampingnya, Novi karibnya juga senyum-senyum dari tadi seakan menyembunyikan sesuatu yang membuatku curiga. Belum sempat kuucapkan tanyaku, Eni mendahuluiku,
"Happy Birtday yaa.. Kak..!" katanya seraya menyodorkan sebuah kado yang terbungkus indah.
Aku tersentak,
"Ah..., rupanya hari ini tanggal kelahiranku..." batinku dalam hati.
"Thanks, yach !" jawabku refleks.
"Selamat panjang umur ya kak... Cuma ini yang dapat Eni berikan buat kenang-kenangan. Jangan lihat harganya ya kak... Tapi lihat nilainya..." katanya mengingatkanku.
"O ya, kak !
Bukanya di rumah aja ya...!" sambungnya lagi.
"Makasih yach ! Eni sudah perhatian sama kakak..."

---

Belum juga aku sampai di rumahku, rasa penasaranku membuatku tak sabar untuk mengetahui isi bungkusan indah itu.
Dan... Breekkk !!
Sampul pembungkusnya ku buka.
Subhanallah... Eni menghadiahkan sebuah Al Quran padaku. Merah warna sampulnya dan disisipi selembar kertas cinta yang diukir pesan-pesan indahnya.

Aku tertegun. Kekasihku memberikan sebuah kitab suci sebagai kenang-kenangan seakan dia berpesan,
Kak, baca dan pelajari yach, kitab suci ini. Agar kakak dapat membimbing Eni saat kita bersama nanti.

Dia memang tidak mengucapkan secara langsung pesan itu. Tapi di hari-hari kebersamaan kami, dia selalu sematkan harapan itu pada saat kami membahas rencana rumah tangga dan bagaimana menjalani hidup bahagia yang menjadi impiannya. Dia sangat berharap, aku memahami agama agar dapat menjadi pemandu yang baik baginya dalam mentaati Allah Swt.

-------

Setelah aku memutuskan untuk meminta pertimbangan orang tua ku terlebih dahulu, akhirnya Bu Susi, walikelasku mengizinkan aku keluar dari ruang dewan guru, untuk melanjutkan waktu istirahatku yang sempat tertunda. Tak jauh dari depan kantor, kulihat Eni menantiku di tempat biasa kami bertemu.
"Ada apa kak, kakak dipanggil ke kantor ?" tanyanya, "Di marah ya...?" lanjutnya lagi sebelum sempat kujawab pertanyaannya yang pertama.
"Nggak... Kakak ditawari kuliah di Unila lewat jalur PMDK..." jawabku.
"Jurusan apa kak...?" tanyanya lagi penasaran.
"Pendidikan Kimia..."
"Terus... Kakak terima atau tidak...?"
"Kakak sih mau... Tapi tadi kakak tangguhkan dulu. Kakak mau minta persetujuan dari orang tua, mereka mengizinkan atau tidak" jelasku. "Kalau menurutmu bagaimana ?" lanjutku.
"Ambil saja kak... Khan kakak bisa jadi guru dan aku dokter. Hehe..." sarannya sambil tersenyum penuh harapan.

----

Kondisi ekonomi orang tuaku yang dibawah garis membuatku tak sempat berkhayal untuk kuliah, mempelajari agama dan menjadi seorang guru sebagaimana yang sangat diharapkan oleh Eni kekasihku. Dalam benakku waktu itu adalah bagaimana aku mendapatkan uang banyak untuk menjemputnya setahun kemudian ketika dia lulus SMU. Dalam hatiku waktu itu tertanam tekad untuk menikah dengannya dan membina rumah tangga meski harus merintis dari nol dengan modal dengkul sekalipun.

Setelah ujian akhirku selesai dan ijazah ku terima, aku segera ke pulau jawa, tepatnya di Tangerang. Meninggalkan kampungku dan meninggalkan kekasihku. Dengan sebuah janji di hati, setahun kemudian aku akan kembali, memjemputnya untuk bersama selamanya.

Namun, rupanya lain rencana kami, lain pula kehendak Yang Maha Kuasa. Merantau pertama kali dalam hidupku ternyata membuatku tidak begitu kuat. Tidak kuat jauh dari orang tua, keluarga dan teman-teman di kampung halaman. Dan tak kuat jauh dari kekasihku tentunya. Jabung yang kutinggal selalu dalam pikiranku. Siang terbayang, malam hadir dalam mimpi. Tengah malam ku terjaga dari tidurku, menangis dalam kesendirian ditengah orang-orang yang tak kukenal. Akhirnya, kuhibur diriku dengan selalu ke masjid di tiap pertiga malam akhir. Mengadukan diriku kepada Yang Maha Mulia, karena, hanya Dia yang paling dekat denganku. Aku meminta dengan beberapa permintaan, terus menerus tanpa putus asa.

Genap dua bulan aku bekerja di Tangerang, Tuhan menghendaki aku pulang ke kampung halamanku, Jabung. Dia memberiku sakit. Akhirnya aku memutuskan untuk undur diri dari perusahaan. Personalia memintaku untuk tidak keluar dari perusahaan. Dan dia menawarkan cuti padaku. Namun, karena keputusanku telah mantap, aku pun tetap keluar dan pulang ke kampung halamanku. Pulang pada keluarga dan pada kekasihku. Yang sehari tak berjumpa dengannya, siksaan pada jiwa bagai sepekan.

----

Betapa terkejutnya aku, saat ku tahu jika Eni R tidak lagi di Jabung. Problem keluarganya membuat dia mental, mengambil keputusan drop out dari sekolah dan pulang ke keluarga ayahnya di pulau jawa.

Aku hanya mendapati sahabat karibnya, yang menyampaikan titipan salam terakhirnya.
'Kak, Eni pulang ke jawa. Dia menitipkan pesan pada kakak, dia mengucapkan terima kasih dan minta maaf pada kakak.'

Gemetar rasanya kedua kakiku, seakan bumi tak lagi kupijak. Bibirku kelu. Dadaku sesak. Hilang sudah mimpiku. Hilang sudah Mustika cintaku.

Sejak kepergian Eni yang aku tak tahu di mana rimbanya, aku seakan kehilangan semangat hidupku. Aku betah di pembaringanku, mengharap berjumpa dengannya dalam mimpiku, agar aku dapat bertanya padanya, mengapa dia pergi tanpa menantiku. Aku ingin dia tahu jika aku telah kembali agar dia menghampiri supaya aku dapat pergi juga bersamanya kemanapun dia mau.

Tuhan Yang Maha Mengetahui, Penyayang dan Maha Lembut, rupanya tidak menginginkan aku berlarut-larut dalam duka lara. Dia menyentak kesadaranku, saat aku tahu selembar nyawaku hampir lepas dari ragaku.
Aku tersungkur bersujud pada-Nya. Dan Dia pun mengangkatku menunjukkan setitik cahaya. Cahaya keimanan. Ku ikuti cahaya itu sehingga ku tahu jalan yang harus aku lalui dan makin jauh aku melangkah meninggalkan kegelapan jahiliah yang menyelimutiku. Hingga akhirnya aku mengenal-Nya dan ajaran-Nya yang Dia sampaikan lewat Rosul-Nya dan Kitab-Nya. Kutemukan cinta sejati yang hakiki, yaitu pemilik cinta Abadi, Allahu Robbi.
Hatiku damai, jiwaku tentram, dan tersingkap tabir dunia yang menyilaukan, seakan aku berdiri di ketinggian jiwa, menyaksikan anak-anak insan berlarian berebut kemilau dunia sedang aku melangkah menuju kemilau Terindah yang Abadi yang hanya ada pada Dzat Yang Maha Indah, Allah Robbul Izzati.

......

Last Memory's

Pagi itu, seorang dara remaja jelita berkerudung putih tampak berdiri menantiku. Desiran sejuk sang bayu pagi membelai wajah ayunya, yang berseri menyambut kedatanganku.
"Gimana, kak. Orang tua kakak setuju kakak kuliah ?" sapanya mengawali pembicaraan kami.
"Orang tua ku senang, tapi mereka juga bingung memikirkan biayanya." jawabku tak bersemangat.
"Yaa... Kakak sambil kerja aja... Untuk membantu meringankan...." sarannya agar aku optimis.
"Apa aku bisa....?" bantahku tak yakin.
"Pasti bisa lah kak... Kakak khan belum mencoba...."
Aku terdiam. Dia menatapku dalam, sambil tersenyum dia melanjutkan,
"Kalau kakak kuliah, nanti khan bisa jadi guru. Dan aku dokter. Kalau seandainya aku tak jadi dokter, aku nanti di rumah buka warung makan" dia kembali menguatkan semangat dan keyakinanku.


Eni... Tahukah engkau... Cintaku pada Robb-ku telah membangkitkan kembali jiwaku dari keterpurukan dan kehinaan karena kepergianmu. Namun, kenyataan hidup yang ku gapai saat ini kembali mengingatkanku padamu. Betapa tidak, kau dulu sangat berharap aku memahami agama dan menjadi seorang guru. Sedang waktu itu aku tidak mencita-citakan itu, karena mimpiku waktu itu adalah hidup bersamamu.

Namun kini, setelah kau pergi, semua harapanmu padaku justru menjadi kenyataan.
Rintihan batinku dulu yang menangis karena kau tinggalkan menghantarkanku mengenal Cinta-Nya. Hingga akhirnya aku memahami agamaku dengan baik seperti yang kau harapkan dulu.

Dan aku tetap istiqomah pada langkahku, hingga tanpa terasa aku menyelesaikan kuliahku walau tingkat rendah dan hanya sekedar formalitas. Aku juga menjadi seorang guru seperti yang kau mimpikan dulu. Bahkan guru yang definitif. Jika aku melihat diriku saat ini, aku teringat padamu, seakan sepuluh tahun lalu adalah kemarin. Ingin sekali rasanya ku jumpa denganmu. Agar kau tahu, semua mimpimu yang kau harapkan aku meraihnya kini telah nyata.


Angin senja menyapaku. Sekilas tampak bayang dara remaja yang semakin jelita datang dalam ingatanku, jiwaku menyapanya...

En... Lihatlah aku sayang... Semua yang menjadi harapanmu padaku dulu, kini telah ada padaku.
Dia tersenyum...
"Itu siapa kak....?"

"Dia temanku yang mendampingi hidupku....
Aku berjumpa dengannya pada alur taqdirku.
Aku sangat berharap padamu... Tapi dia yang hadir...."

Dia kembali tersenyum...
"Selamat ya... Kak....!"

Perlahan dia kembali menghilang.

Sekian

Perasaan Yang Terbalik

Ini adalah sepenggal kisahku sepuluh tahun silam. Ketika itu saya aktif sebagai pembina Risma di masjid M desa J.
 
Pada suatu maghrib, seorang lelaki remaja menghampiriku. “Kak, boleh tidak saya minta tolong?” katanya.
“Boleh. Apa yang bisa aku bantu ?” jawabku. “Minggu depan saya akan ujian praktek Sholat dan wirid setelah sholat. Tapi saya tidak bisa wirid setelah sholatnya. Bisa tidak mengajariku bacaan setelah sholat ?” lanjutnya. “O, ya. Tentu.” Jawabku.

Sejak itu remaja itu akrab denganku. Dia belajar sholat, wirid dan masalah-masalah agama lainnya seperti aqidah, fiqih dan akhlak.  Perubahannya drastis. Dari tidak sholat menjadi rajin sholat bahkan sholat malam ia lakukan. Ia juga rajin puasa sunnah dan lainnya. Namun, ujian menimpanya. Keluarganya yang tak paham agama sama sekali justru mempermasalahkan perubahan kepribadiannya.  Menurut keluarganya, dia rajin sholat, rajin ngaji, rajin puasa itu dalam rangka menguasai kebathinan atau “ngilmu”. Mereka mulai tidak senang dengan anaknya tersebut.
 
Pada suatu hari, adik remaja tersebut pulang ke rumah dengan membawa beberapa buah mangga di tangannya. Sang kakak pun bertanya,  “ Dek, buah mangga itu kamu dapat dari mana?” “Mengambil dari pohon di sebelah sana, kak ?” jawab adiknya. “Kamu minta dahulu nggak?” interogasi kakaknya. “Nggak kak !!” tegas adiknya. Maka remaja itupun menasehati adiknya agar jangan mencuri lagi.
 
Namun, lain tanggapan keluarga besarnya. Semuanya mendukung adiknya. Dengan alasan buah mangga yang dicuri itu tak seberapa nilainya. Mereka justru menyerang balik remaja sholeh tersebut. Mereka memojokkannya dengan berbagai tuduhan. Mereka menuduh bahwa remaja tersebut sudah tidak waras. Mereka menuduh anaknya yang rajin sholat, ngaji, puasa dan sebagainya itu sudah hampir gila gara-gara “ngilmu” (menurut mereka).  Akhirnya mereka mendesak remaja tersebut agar menunjukkan tempat dia belajar.  “Siapa gurumu ?!!” desak mereka. Karena didesak terus menerus, akhirnya remaja itu menyebutkan namaku.  “Saya belajar dengan kak Yusuf.” Jawabnya. Dia menjawab demikian dengan harapan bahwa keluarganya akan mengerti dan percaya kalau dia tidak “ngilmu” atau tidak gila.
 
Namun, harapannya bagai panggang yang jauh dari api. Keluarganya justru mengikatnya. Diapun terpaksa melawan karena diperlakukan seperti itu.  Akhirnya, sejak kejadian itu beredarlah isu, bahwa saya mengajarkan aliran sesat, mengajarkan kebatinan dan mengajarkan para remaja melawan orang tua.  Saya pun memberanikan diri mendatangi keluarga tersebut. Saya coba untuk mengklarifikasi. Namun mereka tidak mau berdiskusi dengan saya. Mereka juga menolak saya untuk bertemu dengan remaja itu. Akhirnya, pertemuan itu saya tutup dengan berkata, “Ya sudah kalau keputusan bapak seperti itu. Sekarang saya ingin mengambil buku saya yang dipinjam  anak bapak.” Betapa terkejutnya saya mendengar jawaban keluarga tersebut, ”Buku itu sudah di bakar pak dukun untuk mengobati anak kami.”

Ya. Sebuah buku agenda Muslim yang belum saya pakai dan kisah para nabi telah dibakar oleh seorang dukun. Lalu abunya diaduk dalam air dan diminumkan ke remaja itu. Sejak itu remaja itu dilarang bertemu dengan saya. Sejak itu pun saya tak mendengar kabar remaja itu. Tapi yang pastinya isu saya mengajarkan aliran sesat beredar pesat di tiga desa tersebut, desa J, NB dan NS. Disebarkan oleh ibu-ibu pengajian setelah mereka yasinan berjamah dan disebarkan oleh orang-orang dengki.
 
Bahkan pada suatu malam, ayahku memanggilku. Dia bertanya padaku tentang pengaduan seseorang padanya. Ya, mereka mengadu ke ayahku, bahwa aku mengajarkan ajaran yang tidak benar. Akhirnya sayapun menjawab dengan argumen, “Ayah, ayah ‘kan bisa menilai antara saya dengan anak orang yang mengadu kepada ayah. Saya menegakkan sholat, membaca al quran dan membina anak-anak risma. Sementara anak mereka mencuri dan sebagainya. Menurut ayah, yang benar yang mana?” Ayahku terdiam, dia kemudian berkata,” Saya khawatir jika mereka bertindak kasar padamu”.  “Jika memang harus demikian saya siap. Saya yakin jika mereka yang membunuh saya, Allah akan mengampuni dosa-dosa saya. Dan jika sampai saya yang membunuh mereka duluan, saya yakin, saya berada di jalan yang benar.”Akhirnya ayahku terdiam. “Ya sudah. Jika memang itu keputusanmu.”
 
Beberapa tahun kemudian, akupun hijrah meninggalkan daerah itu. Dan sampai kini tak ada niat untuk tinggal di kampung itu lagi, meski tak bisa kupungkiri jika aku sangat merindukan kampung kelahiranku.
 
Kini sepuluh tahun sudah berlalu dari peristiwa itu. Para “pemain” sudah jauh lebih ramai ketimbang sepuluh tahun silam. Anak ABG pun sudah tahu debu asyik yang dihisab sambil nyantai menikmati musik yang bassnya seakan memekakkan gendang telinga.
 
Dan kini aku hanya tersenyum  ketika mendengar dari media massa maupun dunia maya tentang satu persatu “pemuda-pemuda terbaik” desa J, NB dan NS berjatuhan di medan “perjuangan” (versi mereka). Dan saya salut, tak ada teriakan sesat dari masyarakat kepada mereka seperti yang saya alami sepuluh tahun silam. Bahkan para pemain itu seakan-akan “selebritis” kampung. Dipuja oleh para anak gadis dan seakan menjadi “calon menantu” idaman. Ah, mungkin memang benar kata seorang ulama, ketika mereka tak memahami Iman dan Islam dengan  benar, maka perasaan mereka menjadi terbalik. Yang benar mereka rasa salah, yang baik mereka rasa buruk. Begitu pula sebaliknya.
Diberdayakan oleh Blogger.