Yusuf Jabung

Wirid Ba'da Sholat

(3x) أَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ اَلَّذِي لآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ اْلحَيُّ اْلقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
ASTAGHFIRULLOHAL_'ADZHIIM(A) AL-LADZII LAA ILAAHA ILLAA HUWAL KHAYYUL QOYYUUMU WA ATUUBU ILAIH(I). (Dibaca 3x)

  لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
LA_ ILAHA ILLALLOHU WA'HDAHULA_ SYARIIKALAH(U), LAHULMULKU WALAHUL'HAMDU YU'HYII WAYUMIITU WAHUWA 'ALA_KULLI SYAI'IN(g)QODIIR(u). (Dibaca 3x)

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ، فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمُ وَأَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَاالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
ALLOHUMMA AN(g)TASSALA_MU WA MIN(g)KASSALA_MU WA ILAIKA YA'UWDUSSALA_M(u), FAKHAYYINA_ ROBBANA_ BI_SSALA_MU WA ADKHILNALJANNATA DA_ROSSALA_MI TABA_ROKTA ROBBANA_ WA TA'A_LAITA YA_DZA_LJALA_LI WAL IKRO_M(i)

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
A'UUDZU BI_LLAHIMINASY-SYAITHO_NIRROJIIM(i)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
BISMILLAHIRRO'HMANIRRO'HIIM(i)

الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اهْدِنَا الصِّرَاطَ اْلمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ اْلمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَآلِّيْنَ. آمِيْنَ
AL'HAMDULILLAHIROBBIL'AaLAMIiN(i) - ARRO'HMANIRRO'HIM(i) - MALIKI YAWMIDDIiN(i) - IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IiN(u) - IHDINASH-SHIRO_THOLMUSTAQIiM(a) - SHIRO_THOLLADZIiNA AN'AMTA 'ALAIHIM GHOIRILMAGH-DHUuBI 'ALAIHIM WALA_DHO_LLIiN(a) - AaMIiN(a).
وَإِلهُكُمْ إِلهٌ وَاحِدٌ لآ إِلهَ إِلَّا هُوَالرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ. اَللهُ لآاِلهَ اِلاَّ هُوَاْلحَيُّ اْلقَيُّوْمُ ج لاَتَأْخُذُه سِنَةٌ وَلاَنَوْمٌ ط لَهُ مَافِى السَّموَاتِ وَمَافِى اْلاَرْضِ قلى مَنْ ذَالَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَه اِلاَّبِاِذْنِه ط يَعْلَمُ مَابَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ ج وَلاَيُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِنْ عِلْمِه اِلاَّبِمَاشَآءَ ج وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضَ ج وَلاَيَؤدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَالْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ
WA ILAAHUKUM ILAAHUW WAA HIDU LAA ILAAHA ILLAA HUWAR ROHMAANUR ROHIIMU. ALLAAHU LAA ILAAHA ILLAA  HUWAL HAYYULQOYYUuM(u). LAA TA’KHUDZUHUU SINATUW WA LAA NAUUM. LAHUU MAA FISSAMAAWAATI WA MAA FIL ARDHI. MAN DZAL LADZII YASFA’U ‘INDAHUU ILLAA BI IDZNIHI. YA’LAMU MAA BAINA AIDIIHIM WA MAA KHALFAHUM. WA LAA YUHITHUUNA BI SYAI-IN MIN ‘ILMIHII ILLAA BI MAASYAA-A. WASI’A KURSIYYUHUSSAMAAWAATI WAL ARDHA. WA LAA YA-UDHUU HIFZHUHUMAA WAHUWAL ‘ALIYYUL AZHIIM

إِلَهَنَا رَبَّنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا سُبْحَانَ اللهِ  
سُبْحَانَ اللهِ
ILAHANA_ ROBBANA_ AN(g)TAMAULA_NA_ SUB'HANALLOH(i)
SUB'HANALLOH (Dibaca 33x)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ دَائِمًا أَبَدًا اَلْحَمْدُ ِللهِ 
 اَلْحَمْدُ ِللهِ
SUB'HA_NALLOHI WABI'HAMDIHI DA 'IMAN ABADAN AL'HAMDULILLAH(i)
AL'HAMDULILLAH (Dibaca 33x)

اْلحَمْدُ ِللهِ عَلىَ كُلِّ حَالٍ وَفِي كُلِّ حَالٍ وَبِنِعْمَةِ يَا كَرِيْمُ 
اللهُ أَكْبَرُ
AL'HAMDULILLAHI 'ALA KULLI'HA_LINN WAFIiKULLI'HALIN WABINI'MATI YA_KARIiM(u)
ALLOHU AKBAR (Dibaca 33x)

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ
ALLOHU AKBAR(u) KABIiRON WAL'HAMDULILLAHI KATSIiRON WASUB'HA_NALLOHI BUKROTAN WA ASHIiLAN, LA_ILAHA ILLALLOHU WA'HDAHULA_SYARIiKALAH(u), LAHULMULKU WALAHUL'HAMDU YU'HYIi WAYUMIiTU WAHUWA 'ALA_KULLI SYAi IN(g)QODIiR(u). WALA_'HAWLA WALA_QUWWATA ILLA_BI_LLAHIL 'ALIYYIL'ADZHIiM(i).

أَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ (ثلاث مرات)، إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
ASTAGHFIRULLOHAL_'ADZHIIM(A) (Dibaca 3x), INNALLOHA GHOFUURURO'HIIM(u)

أَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ
AFDHOLUDZ-DZIKRI FA_'LAM ANNAHU...
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
LA ILAHA ILLALLOH(u) (Dibaca 33x)

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَلِمَةُ حَقٍّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَبِهَا نُبْعَثُ إِنْ شَآءَ اللهُ مِنَ اْلآمِنِيْنَ
LA ILAHA ILLALLOHU MU'HAMMADUROSUULULLOHI SOLLALLOHU 'ALAIHI WA SALLAM(a), KALIMATU'HAQQIN 'ALAIHA_ NA'HYA_ WA 'ALAIHA_ NAMUUTU WA BIHA_ NUB'A-TSU IN(g)SYA_ 'ALLOHU MINAL AMINIIN(a).

Download File dalam format PDF

Aturan Pergaulan Menurut Syariat Islam (Materi Ta'lim Risma Baiturrahman 20 Agust 2016 oleh Sifa' M, S.Pd.I)

Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah swt. Allah swt menciptakan manusia sedemikian rupa, manusia juga merupakan makhluk yang paling sempurna diantara ciptaan Allah swt yang lainnya, Allah menciptakan manusia begitu sempurna karena manusia merupakan khalifah di muka bumi ini. Ada dua jenis manusia yang diciptakan oleh Allah swt, yaitu laki – laki dan perempuan. Firman Allah swt dalam Al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 :
 

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Allah berfirman bahwa Ia menciptakan manusia berbangsa – bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenali. Artinya, Allah swt memerintahkan manusia untuk bersosialisasi dan saling bergaul satu dengan yang lainnya. Allah swt juga menjelaskan di dalam ayat ini bahwa manusia diciptakan berbeda-beda dari berbagai suku dan bangsa, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dengan apa yang dimiliki orang tersebut karena sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah swt adalah orang yang paling bertakwa.

Pergaulan merupakan suatu fitrah bagi manusia karena sesungguhnya manusia merupakan makhluk sosial. Manusia juga memiliki sifat tolong-menolong dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Namun, di zaman sekarang ini banyak sekali remaja yang terjerembab dalam kemaksiatan akibat salah pergaulan, seperti maraknya video mesum, pemerkosaan, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pergaulan tidak dibentengi dengan iman yang kokoh sehingga mudah tergoyahkan oleh arus pergaulan yang bersifat negatif.


Semakin maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja, mengharuskan para remaja belajar tentang pergaulan yang benar secara islam dan sesuai syariat sejak dini. Sebenarnya tidak hanya pergaulan terhadap lawan jenis yang saat ini sedang merebak di masyarakat tetapi hubungan antara anak dan orang tua juga banyak penyimpangan seperti adanya pembunuhan seorang ibu oleh anaknya, hal itu juga disebabkan oleh iman si anak yang masih lemah dan goyah. Sebenarnya di dalam Al-qur’an telah dijelaskan hubungan antara laki-laki dan perempuan ,hubungan sesama jenis, hubungan antara anak dan orang tua, hubungan antara muslim dan nonmuslim, dan masih banyak lagi yang lainnya.  Namun bagi mereka yang baru saja mengetahui peraturan ini cenderung merasa tertekan karena pergaulan dalam islam begitu kaku dan tidak seperti pergaulan yang umum ditemui di masyarakat.

A.   Pergaulan antara lawan jenis
Sekiranya pergaulan itu berasaskan kepada tujuan mendesak ataupun keperluan, maka dibolehkan. Walau bagaimanapun, dalam masa yang sama, perlu menjaga batas-batas pergaulan sebagaimana yang telah digariskan Islam. Pandangan yang diberikan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi di dalam Fatawa Muasyirah, Jilid 2 menyebutkan :
“Pada prinsipnya, perhubungan di antara lelaki dan wanita tidaklah ditolak secara total, malahan dibolehkan selagi mana ia bermatlamatkan kebaikan dan atas perkara-perkara yang dibenarkan syarak.. Dan wajib patuhi kehendak dan ajaran Islam serta prihatin tentang akhlak dan adab”.

Allah swt telah mengatur sedemikian rupa mengenai pergaulan antara lawan jenis. Allah swt berfirman dalam surat Al-Israa ayat 32,
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. 17:32).

Dalam ayat tersebut Allah swt telah jelas melarang manusia untuk mendekati zinah karena sesungguhnya zinah merupakan perbuatan yang keji. Zinah dapat disebabkan oleh kurang kokohnya iman seorang manusia dan akhirnya terbawa dalam pergualan bebas. Islam mengatur batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, batasan-batasan tersebut dibuat bukan untuk mengekang kebebasan manusia, namun merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah swt terhadap umat manusia sebagai makhluk yang mulia. Sebagai muslim yang beriman, seharusnya para remaja memperhatikan beberapa adab pergaulan yang telah diatur didalam Al-Quran.

Adab – adab pergaulan dalam islam :
  • Pertama, hendaknya setiap muslim menjaga pandangan matanya dari melihat lawan jenis secara berlebihan. Dengan kata lain hendaknya dihindarkan berpandangan mata secara bebas. Perhatikanlah firman Allah berikut ini,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. 24:30)

Awal dorongan syahwat adalah dengan melihat. Maka jagalah kedua biji mata ini agar terhindar dari tipu daya syaithan. Tentang hal ini Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, janganlah engkau iringkan satu pandangan (kepada wanita yang bukan mahram) dengan pandangan lain, karena pandangan yang pertama itu (halal) bagimu, tetapi tidak yang kedua!” (HR. Abu Daud).

  • Kedua, hendaknya setiap muslim menjaga auratnya masing-masing dengan cara berbusana islami agar terhindar dari fitnah. Secara khusus bagi wanita Allah SWT berfirman,
Dan Katakanlah kepada perempuan-perempuan Yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali Yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya Dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki Yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak Yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa Yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Wahai orang-orang Yang beriman, supaya kamu berjaya. (An-Nuur : ayat 31).

Batasan aurat bersama bukan mahram (ajnabi)
  1. Lelaki – antara pusat ke lutut
  2. Wanita – seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan
• Berpakaian sopan menurut syara’, yaitu tidak tipis sehingga menampakkan warna kulit, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk badan dan tudung dilabuhkan melebihi paras dada. Tidak salah berpakaian asalkan menepati standar pakaian Islam.

• Hayati pemakaian kita di dalam solat. Sebagaimana kita berpakaian sempurna semasa mengadap Allah, mengapa tidak kita praktikkan dalam kehidupan di luar? Sekiranya mampu, bermakna solat yang didirikan berkesan dan berupaya mencegah kita daripada melakukan perbuatan keji dan mungkar.

• Jangan memakai pakaian yang tidak menggambarkan identitas kita sebagai seorang Islam. Hadith Nabi SAW menyebutkan : “Barangsiapa yang memakai pakaian menjolok mata, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat kelak..” ( Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan juga kepada istri-istri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. 33: 59) 
  • Ketiga, tidak berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada perbuatan zina (QS. 17: 32) misalnya berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis yang bukan mahram. Nabi bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah berkhalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahramnya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaithan (HR. Ahmad).
  •  
  • Keempat, menjauhi pembicaraan atau cara berbicara yang bisa ‘membangkitkan selera’. Arahan mengenai hal ini kita temukan dalam firman Allah,
“Hai para istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan lain jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara hingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf.” (QS. 33: 31).

Berkaitan dengan suara perempuan Ibnu Katsir menyatakan, “Perempuan dilarang berbicara dengan laki-laki asing (non mahram) dengan ucapan lunak sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3)
Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan Yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. oleh itu janganlah kamu berkata-kata Dengan lembut manja (semasa bercakap Dengan lelaki asing) kerana Yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang Yang ada penyakit Dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah Dengan kata-kata Yang baik (sesuai dan sopan). (Al-Ahzaab : 32).

Melunakkan suara berbeda dengan merendahkan suara. Lunak diharamkan, manakala merendahkan suara adalah dituntut. Merendahkan suara bermakna kita berkata-kata dengan suara yang lembut, tidak keras, tidak meninggi diri, sopan dan sesuai didengar oleh orang lain. Ini amat bertepatan dan sesuai dengan nasihat Luqman AL-Hakim kepada anaknya yang berbunyi : “Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Surah Luqman : ayat 19). Penggunaan perkataan yang baik ini perlu dipraktikkan sama ada melalui perbualan secara langsung tidak langsung , contohnya melalui SMS, Yahoo Messengger ataupun apa yang ditulis di dalam Facebook karenanya menggambarkan keperibadian penuturnya.

Berkaitan dengan ungkapan yang baik ini, di dalam Al-Quran ada beberapa bentuk ungkapan yang wajar kita praktikkan dalam komunikasi seharian yaitu:
1.      Qaulan Sadida (An-Nisa’ :9) : Perkataan jujur dan benar, tidak ditambah atau dibuat-buat
2.      Qaulan Ma’rufa (An-Nisa : 5) :Menyeru kepada kebaikan dan kebenaran
3.      Qaulan Baligha (An-Nisa’ : 63) : Kata-kata yang membekas pada jiwa
4.      Qaulan Maisura (Al-Isra’ : 28) : Ucapan yang layak dan baik untuk dibicarakan
5.      Qaulan Karima (Al-Isra’: 23) : Perkataan-perkataan yang mulia

  • Kelima, hindarilah bersentuhan kulit dengan lawan jenis, termasuk berjabatan tangan sebagaimana dicontohkan Nabi saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabatan tangan dengan wanita.” (HR. Malik, Tirmizi dan Nasa’i).
Hadith Nabi SAW : “Sesungguhnya kepala yang ditusuk besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya.” (Riwayat At-Tabrani dan Baihaqi). Selain itu, dari Aisyah :”Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membait.”(Riwayat Bukhari).
Dalam keterangan lain disebutkan, “Tak pernah tangan Rasulullah menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Hal ini dilakukan Nabi tentu saja untuk memberikan teladan kepada umatnya agar melakukan tindakan preventif sebagai upaya penjagaan hati dari bisikan syaitan.
Selain dua hadits di atas ada pernyataan Nabi yang demikian tegas dalam hal ini, bekiau bersabda: “Seseorang dari kamu lebih baik ditikam kepalanya dengan jarum dari besi daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani).

  • Keenam, hendaknya tidak melakukan ikhtilat, yakni berbaur antara pria dengan wanita dalam satu tempat. Hal ini diungkapkan Abu Asied, “Rasulullah saw pernah keluar dari masjid dan pada saat itu bercampur baur laki-laki dan wanita di jalan, maka beliau berkata: “Mundurlah kalian (kaum wanita), bukan untuk kalian bagian tengah jalan; bagian kalian adalah pinggir jalan (HR. Abu Dawud).
Selain itu Ibnu Umar berkata, “Rasulullah melarang laki-laki berjalan diantara dua wanita.” (HR. Abu Daud).

B.   Pergaulan Sejenis
Dalam hal menjaga aurat, Nabi pun menegaskan sebuah tata krama yang harus diperhatikan, beliau bersabda: “Tidak dibolehkan laki-laki melihat aurat (kemaluan) laki-laki lain, begitu juga perempuan tidak boleh melihat kemaluan perempuan lain. Dan tidak boleh laki-laki berkumul dengan laki-laki lain dalam satu kain, begitu juga seorang perempuan tidak boleh berkemul dengan sesama perempuan dalam satu kain.” (HR. Muslim)

C.   Pergaulan Seorang Muslim dengan Non Muslim
Dalam perkara-perkara umum (sosial) kita tetap menjalin hubungan yang baik dengan non muslim sekalipun. Contoh baik: Nabi berdiri ketika iring-iringan jenazah non muslim melewati beliau. Kita perlu tahu bahwa ada tiga jenis non muslim yaitu kafir harbi, kafir dzimmi, dan kafir mu’aahad. Masing-masing mendapat perlakuan yang berbeda. Dalam masalah aqidah dan ‘ubudiyah, kita tegas terhadap non muslim. Seperti: kita tidak mengucapkan dan menjawab salam kepada mereka, tidak mengikuti ritual ibadah mereka, dan semacamnya.

D.   Pergaulan Sesama Muslim
Sesama muslim adalah bersaudara, seperti tubuh yang satu dan seperti satu bangunan yang kokoh dan saling mendukung antar bagiannya. Pergaulan sesama muslim dibalut dengan ukhuwah islamiyah. Derajat-derajat ukhuwah islamiyah adalah alamatus shadr wal lisan wal yad, yuhibbu liakhihi maa yuhibbu linafsih, dan iitsaar.
Ada banyak hak saudara kita atas diri kita, diantaranya sebagaimana dalam hadits Nabi yaitu jika diberi salam hendaknya menjawab, jika ada yang bersin hendaknya kita doakan, jika diundang hendaknya menghadirinya, jika ada yang sakit hendaknya kita jenguk, jika ada yang meninggal hendaknya kita sholatkan dan kita antar ke pemakamannya, dan jika dimintai nasihat hendaknya kita memberikannya. Selain itu, sesama muslim juga tidak saling meng-ghibah, tidak memfitnahnya, tidak menyebarkan aibnya, berusaha membantu dan meringankan bebannya, dan sebagainya.

E.   Pergaulan dengan Ortu dan Keluarga
Bersikap santun dan lemah lembut kepada ibu dan bapak, terutama jika telah lanjut usianya. Jangan berkata ‘ah’ kepada keduanya. Terhadap keluarga, hendaknya kita senantiasa saling mengingatkan untuk tetap taat kepada ajaran Islam. Sebagaimana Nabi telah melakukannya kepada Ahlu Bait. Dan Allah berfirman: Quu anfusakum wa ahliikum naara.

F.    Pergaulan dengan Tetangga
Tetangga harus kita hormati. Misalnya dengan tidak menzhalimi, menyakiti dan mengganggunya, dengan membantunya, dengan meminjaminya sesuatu yang dibutuhkan, memberinya bagian jika kita sedang masak-masak.

Silakan unduh format docx di sini

Dari berbagai sumber

Resume Ushul Fiqh

PENGERTIAN USHUL FIQIH
1. Pengertian Ushul Fiqih
Fiqih secara etimologi “Pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal”. Sedangkan secara terminologi fiqih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara gelobal dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya..

2. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil.
Dengan demikian, dapat dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan buah, sdangkan fikih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
3. Fungsi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melaikan hanya sebagai sarana, fungsi Ushul Fiqih :
  1. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
  2. Mengambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara secara tepat, sedang bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengkuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid.
  3. Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode-metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai permasalahan baru.
  4. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
  5. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
  6. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
1. Pembukaan Ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul Fiqih adalah perkembangan wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Para ulama islam sangat membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Jika dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqih seblum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in. Yang diperselisihkan adalah orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqih, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya. Ada dua teori yang digunakan, yakni :
Merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kidahnya.
Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong mujtahid untuk meng-istinbath, tanpa terkait oleh pendapat atau pemahaman sejalan maupun yang bertentangan.
Jalaluddin As-syuti berkata :”disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan (Al-Hawaji, II : 404). Dapat disimpulkan bahwa kitab Al-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih.

2. Tahap-Tahap  Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu :
a) Tahap awal (abad 3 H)
Di bawah pemerintahan Abbasyiah  Wilayah islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad ini adalah: Al-Ma’mun (w.218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan islam, yang dimulai pada masa pemerintahan Khalifa Ar-Rasyid. Ditandai dengan timbulnya semangat penerjemah dikalangan Ilmuan muslim. 
Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran itu berhasil mengembangkan bidang fiqih, yang mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqih yaitu Ushul Fiqih.
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakan dasar berdirinya madzhab-madzhab fiqih, sehingga para pengikut mereka semakin menunjukan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran Ushul Fiqih dari para imamnya.
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode masing-masing aliran semakin mendorong semangat pengkajian ilmiah di kalangan ulama abad 3 H dan semangat ini berlanjut dan semakin berkembang pada abad 4 H.

b) Tahap Perkembangan (Abad 4 H)
Pada abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam bidang politik. Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Perkembangan ilmu keislaman pada abad ini jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena masing-masing penguasa ingin memajukan, memakmurkan dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus di bidang pemikiran fiqih Islam abad ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan untuk melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, karena karena tiap-tiap pengikut tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna untuk menyempurnakan apa yang dirintis pendahulunya. Usaha mereka antara lain :
  1. Memperjelas ‘illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka; mereka itu yang disebut ‘ulama takhriz;
  2. Men-tarjih-kan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayat dan dirayah;
  3. Setiap golongan mendukung madzhab-nya sendiri dan men-tarjih-kan dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup. Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1) Kegiatan para ulama terbatas, mereka cendrung men-syarah-kan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya;
2) Menhimpun maslah-masalah furu’ yang banyak dalam uraian yang singkat;
3) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya :
  1. Kitab Ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
  2. Kitab Al-Fushul Fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim yang dikenal dengan Al-Jashshasa (305-370 H.).
  3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh  dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.

c) Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya daulah-daulah kecil, membawa arti pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perhatian lebih dari para pengusanya terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya ; antaralain Al-Baqilani, Al-Qadhi Abd. Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi, dan lain-lain. Mereka lah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman ini, dismping mencerminkan adanya adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab, juga menunjukan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakalimin. Kitab-kitab Ushul Fiqih yang paling penting antara lain :
a) Kiitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H./1024 H.).
b) Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain Al-Bashri (w. 436 H./1044 M.).
c) Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
d) Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd. Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 M.).
e) Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.). 

a. Peran Ushul Fiqih Dalam Pengembangan Fiqih Islam
Target yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqih ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil dalilnya dengan jalan yang benar.
Target study fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Bagi non-mujtahid yang mempelajari fiqih islam target nya ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat imam madzhab tersebut.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddamah berkata, “Sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syariah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidah nya.” Para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih.
b. Aliran-Aliran Ushul Fiqih
Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini mengemban Ushul Fiqih secara teoritis murni, begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dam madzhab, sehingga adakalanya sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Pada kenyataannya pada kalangan syafi’iyah sendiri pernah terjadi pertentangan.
Kitab standar aliran ini antara lain : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’I) , Al-Mu’tamad (Abu Al-Husain Muhammad Ibnu A’li Al-Bashri), Al-Burhan fi Ushul Fiqih (Imam Al-Haramain Al-Juwaini), Al-mankhul min ta’liqat Al-Ushul, Shifa Al-Ghalil fi bayan asy-syabah wa Al-mukhil wa Masalik At-ta’lil, Al-Mushfa fi ilmi Al-Ushul (ketiganya karya Imam Abu Hamid Al-Gazali)
Aliran kedua dikenal dengan aliran Fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan madzhab fuqaha karena dalam menyusun teorinya banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Aliran ini berusaha menerapkan kaidah-kaidah yang mereka sususn pada furu’. Jika sulit diterapkan mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan.
Kitab standar aliran ini antara lain : Kitab Al-Ushul (Imam Abu Hasan Al-Karkhi), Kitab Al-Ushul (Abu Bakar Al-Jashshash), Ushul Al-Sarakhsi (Imam Al-Sarakhsi), Ta’sis An-Nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi), dan Al-Kasyaf Al-Asrar (imam Al-Bazdawi).
Kitab-kitab Ushul yang menggabungkan kedua teori di atas antara lain:
1) At-Tahrir, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Human Alhanafi (w.861 H.)
2) Tangqih Al-Ushul, disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w.747 H.)
3) Jam’u Al-jawami, disususn olehTaj Ad-Din Abd Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’I (w.771 H.)
4) Musallam Ats-Tsubut, disusun oleh Muhibullah Abd Al-Syakur (w. 1119 H.)
Pada abad 8 muncul Imam Asy-Syatibhi yang menyusun kitab Al-Muafaqat fi Al-Ushul Asy-Syari’ah. Pembahasan yang dikemukakannya berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap sebagai kitab Ushul Fiqih kontemporer yang komperhensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.
OBJEK KAJIAN USHUL FIQIH DAN FIQIH

1. Objek Kajian Ushul Fiqih
Objek bahasan Ushul Fiqh adalah cara-cara, metode-metode, kaidah-kaidah untuk menggali hukum atau untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syari’at (firman Allah dan sabda Rasull).
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, membagi objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
1) Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum ‘laih;
2) pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
3) pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan
4) pembahasan ijtihad

2. Objek Kajian Fikih
Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan sifat-sifat itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global (umum). Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukallaf. Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan mukallaf, menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat persoalan objek pembahasan Fiqih:
1)        Hukum Syara’;
2)        Hakim dan dalil-dalilnya;
3)        Perbuatan mukalaf, dan
4)        Mukalaf.
TUJUAN MENGKAJI FIQIH DAN USHUL FIQIH
1. Tujuan Mempelajari Fiqih:
Tujuan mempelajari fiqih ialah untuk menerapkan hukum syara’ pada setiap perkataan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan- ketentuan yang dipergunakan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan mengetahui hukum syara’ pada setiap perkataan dan perbuatan yang mereka lakukan.
Selain itu, tujuan mempelajari fiqih lainnya yaitu untuk menerapkan hukum- hukum syariat islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia, seperti rujukan seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang Mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan perbuatannya.
2.        Tujuan mempelajari Ushul Fiqih:
  1. Memberikan pengertaan dasar tentang kaidah-kaidah dan metodelogi para ulama mujtahid  dalam menggali hukum.
  2. Memberikan gambaran mengenai persyaratan yang harus dikuasai dan dimiliki seorang mujtahid.
  3. Memberikan bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai macam metode yang dikembangkan para mujtahid sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
  4. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan hadis.
  5. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat digunakan untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
  6. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.
....
Download RESUME MATA KULIAH USHUL FIQIH PDF Selengkapnya di link di bawah ini:

FIQH SHOUM LINTAS MAZHAB

Syarat Wajib Puasa
1. Islam

Dengan demikian orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha' (mengganti) begitulah menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahkan kalaupun mereka melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah syarat islam ini syarat wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang melatar belakangi mereka dalam hal ini adalah karena adanya perbedaan mereka dalam memahami ayat kewajiban puasa, mengenai apakah orang kafir termasuk di dalamnya atau tidak.

Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mereka tetap termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka dibebani untuk melakukan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam kemudian melakukan puasa). Jadi menurut pendapat pertama (Hanafiyah) mereka hanya menaggung dosa atas kekafirannya sementara menurut pendapat kedua (Jumhur Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat.

Maka jika ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib melaksanakan puasa sejak saat itu. Sebagaimana firman Allah "Katakanlah pada orang kafir bahwa jika mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu" (QS. Al Anfal:38).

2 & 3. Aqil dan Baligh (berakal dan melewati masa pubertas)

Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak berakal) dan orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist:

"Seseorang tidak termasuk mukallaf pada saat sebelum baligh, hilang ingatan dan dalan keadaan tidur".

4 & 5, Mampu dan Menetap

Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu) dan sedang bepergian (tidak menetap), tetapi mereka wajib mengqadha'-nya.

Syarat-syarat tersebut di atas mendapat tambahan satu syarat lagi dari Ulama Hanafiyah menjadi syarat yang ke-6 yaitu: Mengetahui kewajiban puasa (semisal bagi orang yang memeluk Islam di negara non muslim).

Syarat Sahnya Puasa
  1. Menurut ulama Hanafiyah ada 3:
    • Niat
    • Tidak ada yang menghalanginya (seperti haid dan nifas)
    • Tidak ada yang membatalkannya
  2. Menurut ulama Malikiyah ada 4:
    • Niat
    • Suci dari haid dan nifas
    • Islam
    • Pada waktunya dan juga disyaratkan orang yang berpuasa berakal.
  3. Menurut ulama Syafi'iyah ada 4:
    • Islam
    • Berakal
    • Suci dari haid dan nifas sepanjang hari
    • Dilaksanakan pada waktunya.
    • (Sedangkan "niat", menurut Syafi'iyah, dimasukkan ke rukun puasa).
  4. Menurut ulama Hambaliyah ada 3:
    • Islam
    • Niat
    • Suci dari haid dan nifas
Sebagai catatan lebih lanjut bahwa:
Definisi Niat ; Keyakinan hati dan kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tanpa keragu-raguan.

Apakah niat itu termasuk syarat atau rukun?

Pada dasarnya ulama sepakat bahwa, niat wajib dilakukan dalam setiap ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya". Dan dalam riwayat 'Aisyah, bahwasanya Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa tidak berniat puasa pada malam hari maka puasanya dianggap tidak sah." Menurut mazhab selain Syafi'iyah: "Niat" adalah syarat, karena puasa dan ibadah lainnya merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba dengan ikhlas hanya karena Allah semata. Keikhalasn disini tidak bisa terwujud kecuali dengan niat. Adapun pelaksanaan "Niat" harus dilakukan di hati tidak cukup mengucapkan di mulut saja.

Syarat bersuci jinabah (mandi junub)

Ulama sepakat bahwa, orang yang hendak berpuasa tidak diwajibkan untuk bersuci jinabah pada malam hari, karena tidak menutup kemungkkinan hal-hal yang mewajibkan mandi junub (seperti bersenggama, mimpi basah, haidh dan nifas) terjadi pada pagi hari. Sebagaimana HR. Aisyah dan Ummu Salmah bahwa: Rasulullah saw. mandi junub (karena jima') pada pagi hari kemudian beliau berpuasa. Maka barang siapa mandi junub pada pagi hari atau seseorang wanita belum bersuci dari haid (atau nifas) dipagi harinya tetap boleh berpuasa dan dianggap sah.

Kapan Niat Puasa Dilakukan?

Dalam hal niat puasa wajib (jenis apa saja), para ulama berbagai mazhab sepakat bahwa niat harus dilaksanakan pada malam hari. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Sayidah 'Aisyah: "Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak sah puasanya".

Lain halnya puasa sunnat, waktu berniat tidak harus malam hari, tapi bisa dilakukan setelah terbit fajar sampai sebelum tergelincirnya matahari (waktu Dzuhur) dengan syarat ia belum makan/minum sedikitpun sejak Subuh. Bahkan ulama mazhab Hambali, untuk puasa sunat, membolehkan berniat setelah waktu Dzuhur.

Kembali ke persoalan, seandainya lupa berniat pada malam hari atau tertidur, bolehkah melakukan niat setelah terbit fajar atau pagi harinya?

Untuk lebih detailnya, marilah kita ikuti berbagai pendapat berikut ini:

Pendapat mazhab Hanafiyah : Lebih baik bila niat puasa (apa saja) dilakukan bersamaan dengan terbitnya fajar, karena saat terbit fajar merupakan awal ibadah. Jika dilaksanakan setelah terbitnya fajar, untuk semua jenis puasa wajib yang sifatnya menjadi tanggungan/hutang (seperti puasa qadla, puasa kafarat, puasa karena telah melakukan haji tamattu' dan qiran sebagai gantinya denda/dam, dll) maka tidak sah puasanya.

Karena, menurut mazhab ini, puasa-puasa jenis ini niatnya harus dilakukan pada malam hari. Tapi lain dengan puasa wajib yang hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti puasa Ramadhan, nadzar, dan pusa-puasa sunnah yang tidak dikerjakan dengan sempurna, maka boleh saja niatnya dilakukan setelah fajar sampai sebelum Dhuhur.

Mazhab Malikiyah : Niat dianggap sah, untuk semua jenis puasa, bila dilakukan pada malam hari atau bersamaan dengan terbitnya fajar. Adapun apabila seseorang berniat sebelum terbenamnya matahari pada hari sebelumnya atau berniat sebelum tergelincirnya matahari pada hari ia berpuasa maka puasanya tidak sah walaupun puasa sunnah.

Mazhab Syafi'iyah : Untuk semua jenis puasa wajib (baik yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti puasa Ramadlan; yang sifatnya menjadi tanggungan seperti qadla', nazar, kafarat, dll.) niat harus dilakukan pada malam hari. Adapun puasa sunnnah, niat bisa dilakukan sejak malam hari sampai sebelum tergelincirnya matahari. Karena Nabi saw. suatu hari berkata pada 'Aisyah: 'Apakah kamu mempunyai makanan?'. Jawab 'Aisyah: 'Tidak punya'. Terus Nabi bilang: 'Kalau begitu aku puasa'. Lantas 'Aisyah mengisahkan bahwa Nabi pada hari yang lain berkata kepadanya: 'Adakah sesuatu yang bisa dimakan?'. Jawab 'Aisyah: 'Ada'. Lantas Nabi berkata: 'Kalau begitu saya tak berpuasa, meskipun saya telah berniat puasa'.

Mazhab Hambaliyah : Tidak beda dari Syafi'iyah, mazhab ini mengharuskan niat dilakukan pada malam hari, untuk semupa jenis puasa wajib. Adapun puasa sunnah, berbeda dari Syafi'iyah, niat bisa dilakukan walaupun telah lewat waktu Dhuhur (dengan syarat belum makan/minum sedikitpun sejak fajar)

Hal-hal Yang Membatalkan Puasa Yang Hanya Mewajibkan Qadla

Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua macam: yang mewajibkan qadla' saja (tidak kafarat), dan ada yang mengharuskan qadla' dan kafarat. Kali ini, kita akan menampilkan yang pertama, yang mewajibkan qadla' saja, menurut 4 mazhab besar : Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah.

Madzhab Hanafiyah
Hal-hal yang membatalkan puasa, dalam mazhab Hanafiyah ini terbagi ke dalam 3 kelompok besar.
Pertama, memakan/menelan/meminum sesuatu yang tidak selayaknya ia makan. Masuk dalam kelompok ini adalah hal-hal berikut:
  1. memakan beras mentah.
  2. makan adonan tepung yang tidak dimasak.
  3. menelan obat-obatan (tanpa maksud yang jelas).
  4. Memakan buah yang belum masak.
  5. Memakan sisa-sisa makanan di mulut sebesar kacang Arab (sama dengan setengahnya kacang tanah).
  6. Memakan garam banyak dengan sekali telan juga mewajibkan qadla' (tidak kafarat), berbeda jika menelannya sedikit-sedikit, maka selain qadla' puasa ia juga wajib membayar kafarat.
  7. Memakan biji-bijian.
  8. Memakan/menelan kapas, kertas atau kulit, kerikil, besi, debu, batu, uang kertas/perak atau sejenisnya.
  9. Memasukkan air atau obat ke dalam tubuh dengan cara menyuntukkan melalui lubang kemaluan, hidung, atau tenggorokan.
  10. Meneteskan minyak ke dalam telinga (bukan air, karena air tidak bisa meresap lebih jauh ke dalam).
  11. Masuknya air hujan atau salju ke dalam tenggorokan tanpa sengaja, dan dia tidak menelannya.
Sengaja muntah-muntah, atau mengeluarkan muntah dengan paksa lantas ditelankannya kembali, jika muntahannya itu memenuhi mulut; atau walaupun tidak sampai memenuhi mulut namun yang kembali tertelan minimal menyamai biji kacang Arab, sementara dia sadar bahwa dia puasa. Namun jika muntahan itu terjadi dengan tanpa sengaja; atau kalaupun muntah secara disengaja namun muntahannya tidak memenuhi mulutnya; atau saat muntah dia lupa bahwa dia sedang puasa; atau muntahannya itu berupa lendir, tidak makanan; maka puasanya tidak batal. Ini berdasar hadis "Barang siapa muntah dengan tanpa sengaja maka dia tidak wajib mengqadla, namun jika sengaja muntah-muntah maka diwajibkan mengqadla'".

Jenis kedua adalah memakan/meminum/menelan makan-makanan atau obat-obatan karena ada udzur, baik itu berupa penyakit, dipaksa, memakan/meminum/menelan secara keliru, atau karena menyepelekan, atau karena samar. Masuk dalam kategori ini adalah hal-hal berikut ini:
  1. Masuknya air kumur ke dalam perut secara tak sengaja.
  2. Berobat dengan cara membedah tubuh bagian kepala atau perut, lantas obat yang dimasukkan mencapai otak atau perut.
  3. Orang tidur yang dimasuki air ke dalam tubuhnya dengan sengaja.
  4. Orang perempuan yang membatalkan puasanya dengan alasan khawatir sakit karena melaksanakan suatu pekerjaan.
  5. Makan atau bersenggama secara syubhat/samar, setelah ia melakukan hal itu (makan atau senggama) karena lupa.
  6. Makan setelah ia berniat puasa pada siang hari.
  7. Seorang musafir (orang yang bepergian) yang makan saat niat puasanya dilakukan pada malam hari setelah ia memutuskan untuk menetap (mukim) di tempat ia berada.
  8. Makan/minum/senggama pada saat fajar telah terbit, namun ia ragu apakah fajar telah terbit.
  9. Makan/minum/senggama pada saat matahari belum terbenam, namun ia menyangka bahwa matahari telah terbenam (telah maghrib)
    Catatan ; Seorang yang makan atau melakukan hubungan badan sejak sebelum terbitnya fajar, kemudian fajar terbit, maka jika ia langsung menghentikannya atau memuntahkan makanan yang ada di mulutnya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya.
Sebelum pindah madzhab baca dulu ATURANNYA

Jenis ketiga adalah pelampiasan nafsu seks/birahi secara tak sempurna. Masuk dalam kategori ini adalah hal-hal berikut:
  1. Keluarnya mani dikarenakan berhubungan badan dengan mayit atau binatang atau anak kecil yang belum menimbulkan syahwat.
  2. Keluarnya mani karena berpelukan atau adu paha.
  3. Keluarnya mani karena ciuman atau rabaan.
  4. Perempuan yang disetubuhi saat ia tertidur.
  5. Perempuan yang menetesi kemaluannya dengan minyak.
  6. Memasukkan jari yang dibasahi dengan minyak atau air kedalam anus, lantas air atau minyak itu masuk ke dalam.
  7. Bercebok sehingga ada air yang masuk ke dalam melalui anus.
  8. Memasukkan sesuatu sampai tenggelam seluruhnya (kapas, kain, atau jarum suntik, dll) ke dalam anus.(Jika tidak tenggelam seluruhnya, maka tidak membatalkan puasa)
  9. Perempuan yang memasukkan jarinya yang dibasahi dengan minyak atau air ke dalam vaginanya bagian dalam.

Madzhab Malikiyah
Dalam mazhab ini, hal-hal yang mewajibkan qadla' (tanpa kafarat) ada 3 kategori berikut ini:

Membatalkan puasa-puasa fardlu (seperti qadla' Ramadlan, puasa kafarat, puasa nadzar yang tidak tertentu, puasanya orang yang haji tamattu' dan qiraan yang tidak membayar denda). Adapun puasa nadzar yang ditentukan, semisal bernadzar puasa hari/beberapa hari/bulan tertentu, jika dia membatalkan puasanya itu karena udzur seperti haidl, nifas, ayan, gila, sakit, dll, maka ia tak wajib mengqadla'. Namun jika uzdurnya sudah hilang sementara apa yang dinadzarkannya masih tersisa, maka ia wajib melakukan puasa pada hari yang tersisa itu.

Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa Ramadhan, selama syarat-syarat wajibnya kafarat tak terpenuhi. Seperti batalnya puasa karena udzur seperti sakit; atau karena udzur yang menghilangkan dosa seperti lupa, kesalahan, keterpaksaan; batalnya puasa karena keluarnya madzi atau mani karena melamun/melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menimbulkan syahwat), dengan tanpa berlebihan, namun kebiasaannya keluar mani pada saat berhenti dari tindakan itu. Singkatnya, semua puasa wajib yang dibatalkannya wajib baginya mengqadla, kecuali puasa nadzar tertentu yang dibatalkannya karena udzur.

Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa-puasa sunat. Karena menurut mazhab ini, melakukan suatu ibadah sunat, hukumnya wajib melakukannya sampai sempurna. Jika dibatalkan secara sengaja maka harus mengqadlanya, dan jika tanpa jika batalnya karena udzur tidak wajib mengqadlanya.

Kesimpulannya, seseorang yang membatalkan puasa (semua jenis puasa) dengan sengaja maka ia wajib mengqadlanya, dan tidak wajib membayar kafarat kecuali pada puasa Ramadhan saja. Dan barang siapa yang batal puasanya (jenis apa saja) karena lupa, wajib baginya mengqadla (tidak kafarat), kecuali pada puasa sunat (tidak wajib qadla' tidak pula kafarat).

Adapun hal-hal yang bisa membatalkan puasa, dalam mazhab ini, ada 5 hal:
  1. Bersenggama yang mewajibkan mandi.
  2. Keluarnya mani atau madzi karena ciuman, belaian, dan melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menimbulkan syahwat) dan itu dilakukannya dengan sengaja dan terus-terusan.
  3. Muntah-muntah secara sengaja, baik muntahannya itu memenuhi mulut atau tidak. Namun jika muntah itu terjadi secara tak sengaja maka tak membatalkan puasanya, kecuali jika ada muntahannya yang kembali masuk ke perut walau tak sengaja (maka batal puasanya).
  4. Sampainya sesuatu yang cair ke tenggorokan melalui mulut, hidung, atau telinga, baik itu secara sengaja, lupa, kesalahan, atau keterpaksaan. Seperti air kumur atau saat gosok gigi. Masuk dalam kategori hukum cairan ini juga, dupa dan kemenyan jika dihirup kuat-kuat sehingga masuk ke tenggorokan, asap yang diketahui (seperti rokok-pent), bercelak dan berminyak rambut pada siang hari jika rasanya sampai ke tenggorokan, jika tidak sampai ke tenggorokan tidak membatalkan puasa. Sebagaimana ia tak membatalkan puasa, jika hal itu dilakukannya pada malam hari).
  5. Sampainya sesuatu ke pencernaan, baik zat cair atau tidak, melalui mulut, hidung, mata atau pangkal rambut, baik masuknya dengan disengaja, keliru, lupa atau terlanjur. Adapun suntikan pada lobang kelamin laki-laki tidak membatalkan puasa. Begitu juga halnya mengkorek-korek lubang telinga, juga menelan sisa-sisa makanan yang masih menempel di antara gigi-gigi tidak membatalkan puasa, meskipun itu dilakukan dengan sengaja.
Demikian pula masuknya segala sesuatu, baik berupa cairan atau tidak, ke dalam pencernaan melalui lubang-lubang (menuju dalam tubuh) yang berada di atas perut, baik lubang tersebut lebar atau sempit, membatalkan puasa dan wajib mengqadlanya. Beda dengan sesuatu yang masuk melalui lubang bawah (perut), ia baru dianggap membatalkan puasa jika lubang bawah itu lebar (seperti lubang anus dan kelamin perempuan), dan barang yang masuk itu berupa zat cair (tidak benda yang keras).

Singkatnya, qadla' itu wajib bagi orang yang membatalkan puasa-puasa wajib, baik itu dilakukannya dengan sengaja, lupa, keterpaksaan; baik pembatalannya itu haram, boleh, atau wajib seperti orang yang membatalkan puasanya karena kekhawatirannya akan sesuatu yang fatal (jika ia puasa); baik pembatalan itu juga mewajibkan kafarat atau tidak; baik puasa fardhu itu asli atau puasa nadzar.

Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?


Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih? Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.

Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah

Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dgn menghakimi pendapat Imam Mazhab dgn Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…

Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dgn sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak2 sahabat Nabi di Madinah. Anak2 sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie. Ini adalah Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim.
Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dsb? Ya boleh sebagai pelengkap. Tapi jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tsb. Wong para Imam Hadits saja kan mengikuti Mazhab Syafi’ie? Tidak pakai hadits mereka sendiri?

Menurut Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh dengan rasa dengki dan benci. Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf asli.
Padahal Imam Mazhab tsb menguasai banyak hadits. Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththo. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Sahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. Begitu pula Imam Ahmad yang menguasai 750.000 hadits lebih dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.
Ada tulisan bagus dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc., MA, yaitu:

Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab


Di antaranya Ustad Ahmad menulis bahwa para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam Malik wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie wafat, Imam Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru lahir. Tidak mungkin kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab Hadits yang belum ada pada zamannya?
Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena keempat imam mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.
Dalam teknologi, makin ke depan makin maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau hadits Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari zamannya, justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.
Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim malah bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Sahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.
Ada beberapa tokoh yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama mazhab khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai hadits. Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.
Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih, pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai  bodoh  dalam ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar. Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. Hadits sahih secara sanad, belum tentu sahih secara matan. Meski banyak hadits yang mutawattir secara sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. Artinya susunan kalimat atau katanya sama persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih,  lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Baca selengkapnya di:

Menurut Ustad Ahmad Sarwat Lc, MA,  Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana, yang 3 level itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.
Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah tidak murni lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda 50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits yang bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena jarak mereka ke Nabi lebih dekat.
Diberdayakan oleh Blogger.